25 Oktober 2007

MENELUSURI JEJAK EVOLUSI LUBANG HITAM


(Gambar dari Geocities.com)
Black hole atau lubang hitam adalah objek paling misterius di alam semesta, karena penampakannya tidak dapat diamati langsung melalui teleskop paling canggih sekali pun. Ini disebabkan semua materi, termasuk cahaya, tidak dapat lepas dari permukaannya. Menangkap rupa black hole bagaikan membidik hantu di kegelapan malam.

Black hole diyakini bisa terlahir ketika bintang bermassa besar (10 – 15 kali massa Matahari) menjalani akhir evolusi sebagai supernova (ledakan dahsyat). Black hole hasil dari kematian sebuah bintang ini dinamakan black hole bintang (stellar black hole).

Selain black hole bintang, observasi menggunakan teleskop modern dewasa ini memberikan indikasi keberadaan black hole maharaksasa yang massanya jauh lebih besar dari sebuah bintang. Black hole ini diperkirakan mempunyai massa hingga miliaran massa bintang dan disebut sebagai supermassive black hole (black hole supermasif).

Eksistensi black hole di alam semesta diprediksi Karl Schwarzschild secara teoritis pada tahun 1916. Ia menggunakan Teori Relativitas Umum yang dicetuskan Albert Einstein tahun 1915 untuk menghitung suatu solusi medan gravitasi berupa titik massa (point mass). Namun, Schwarzschild tak begitu yakin bahwa solusinya itu mempunyai makna fisis atau bisa ditemukan di alam.

Teka-teki atas solusi Schwarzschild mulai terkuak setelah ditemukan adanya objek-objek pemancar sinar-X kuat dari kedalaman antariksa pada tahun 1960-an. Menurut teori evolusi bintang, sumber sinar-X kuat itu membuktikan keberadaan objek-objek sangat mampat seperti bintang netron atau black hole.

Bukti-bukti observasi
Pada 21 Juli 2004, ilmuwan terkenal Stephen Hawking secara mengejutkan membantah teorinya sendiri yaitu bahwa apa pun yang memasuki black hole akan sirna begitu saja. Berdasarkan teori terbarunya, sesuatu yang memasuki black hole tidak sirna sepenuhnya tanpa bekas, tetapi masih ada “informasi” yang bisa lepas. Bila teori ini benar, ada kemungkinan suatu saat kita bisa memotret rupa black hole. Tentu saja perlu dikembangkan metode observasi baru.

Meski dewasa ini tidak mungkin memperoleh foto black hole, para ahli dapat mendeteksi keberadaannya dengan mengamati pengaruhnya terhadap ruang sekitar. Gravitasi sangat kuat menyebabkan ruang di sekitar black hole berfungsi sebagai lensa gravitasi (gravitational lens). Galaksi-galaksi sangat jauh dan lemah cahaya yang kebetulan tepat berada di belakang sebuah black hole raksasa, akibat efek lensa gravitasi, maka cahayanya diperkuat, jumlahnya tampak lebih banyak dari aslinya, dan bentuknya mengalami distorsi. Beberapa kluster galaksi yang berhasil diamati melalui teleskop Hubble memberikan bukti adanya black hole raksasa.

Keberadaan black hole bintang sangat sulit diamati melalui efek lensa gravitasinya, karena ukurannya sangat kecil. Efek lensa gravitasi yang ditimbulkan dinamakan micro-lensing. Meski sangat sulit, dengan semakin majunya teknik observasi, pengamatan efek micro-lensing kini tengah giat dilakukan oleh para ahli.

Sebuah black hole bintang akan lebih mudah dideteksi manakala berpasangan dengan bintang lain membentuk sistem bintang ganda. Dalam sistem bintang ganda ini, gravitasi sangat kuat dari black hole menyebabkan materi bintang pasangan (misalnya bintang raksasa) terhisap dan jatuh menuju ke permukaan black hole melalui lintasan spiral. Materi ini membentuk suatu piringan akresi (accretion disk) pada kawasan ekuator black hole.

Semakin dekat ke black hole, kecepatan materi semakin tinggi. Gesekan materi pada piringan akresi menimbulkan panas hingga jutaan derajat Celcius. Akibatnya, piringan akresi berubah menjadi sumber sinar X sangat kuat yang berubah intensitasnya sangat cepat. Dengan mengkaji sifat-sifat pancaran sinar X dapat ditentukan apakah objek dalam sistem bintang ganda itu adalah black hole atau bukan.

Tidak semua materi pada piringan akresi ditelan sempurna oleh black hole. Sebagian materi lolos dari cengkeraman gravitasi dan dipancarkan pada arah sumbu rotasi black hole, membentuk dua semburan berkecepatan mendekati kecepatan cahaya dan sangat terarah (collimated) seperti sinar laser.

Dari observasi melalui satelit, kini telah dideteksi setidaknya sepuluh black hole yang merupakan pasangan bintang ganda. Salah satu kandidat black hole yang sangat populer adalah objek Cygnus X1. Adanya pancaran sinar X sangat kuat dan berubah cepat juga dideteksi pada inti galaksi sangat masif, seperti quasar (quasi-stellar radio source) dan galaksi aktif (active galaxy). Massa black hole ini mencapai miliaran kali massa Matahari.

Evolusi bersama
Sejumlah ahli berpendapat black hole dan galaksi lahir bersamaan. Proses evolusi bersama ini disebut co-evolution. Ide co-evolution sebenarnya telah dicetuskan sejak 30 tahun silam. Namun, teori ini diabaikan karena tak ada bukti-bukti observasi yang mendukung. Dalam beberapa tahun terakhir, berkat sistem observasi yang semakin canggih, teori ini mendapat perhatian kembali.

“Dulu, black hole dipandang sebagai akhir dari evolusi bintang. Sekarang kami percaya black hole juga berperan dalam evolusi sebuah galaksi,” kata Meg Urry, astronom dan profesor fisika dari Universitas Yale.

Ketika sebuah galaksi terbentuk, di pusatnya lahir pula black hole bintang (beberapa kali massa Matahari). Seiring dengan perjalanan waktu, maka massa black hole bintang ini semakin membesar hingga juta atau bahkan miliaran massa Matahari, karena terus-menerus menghisap materi di sekitarnya. Pada inti galaksi kita (Bima Sakti) misalnya, diperkirakan terdapat black hole dengan massa 2,5 juta kali massa Matahari.

Pada awal tahun 2003 lalu, melalui observasi menggunakan teleskop Hubble diperoleh bukti pertama adanya galaksi-galaksi baru (usia muda) yang terbentuk di sekitar quasar. Rogier Windhorst, astronom dari Arizona State University, dan koleganya Haojing Yan, menemukan galaksi-galaksi normal (seperti galaksi kita) paling jauh yang berhasil diamati, ternyata berdekatan dengan sebuah objek quasar (objek supermasif). Diperkirakan, jarak galaksi normal itu sekira 13 miliar tahun cahaya dari Bumi.

Bila diandaikan usia alam semesta sekira 15 miliar tahun (berdasarkan hasil pengamatan terbaru dari teleskop Subaru di Hawai), maka berarti galaksi normal itu berusia lebih kurang dua miliar tahun setelah peristiwa big bang. Sebagai perbandingan, usia tata surya kita adalah 4,6 miliar tahun.

Penemuan galaksi muda yang berdekatan dengan quasar itu memberikan inspirasi bahwa objek-objek supermasif seperti quasar dan galaksi aktif sangat berperan dalam evolusi pembentukan alam semesta.

Black hole tidak selalu berkaitan dengan kematian sebuah bintang. Black hole bermassa sangat besar umumnya ditemukan pada setiap inti galaksi, bahkan sangat berperan dalam evolusi alam semesta. Meski begitu, black hole masih menyimpan berbagai misteri.***

(Dari Pikiran Rakyat / Penulis: Bachtiar Anwar)